Tulisan ini merupakan bagian dari konsolidasi terhadap tulisan kami sebelumnya yang membahas “Penilaian Kinerja”, dalam 3 (tiga) tulisan kami sebelumnya, 1. Pentingnya Penilaian Kinerja Personil Dalam Mendukung Peran Polri Menyongsong Masa Depan Yang Penuh Dengan Tantangan , 2. Pengharkatan Dan Pembobotan Merupakan Backbone Penilaian Kinerja, 3. Adanya Keterkaitan Antara Penilaian Kinerja Dengan Budaya Organisasi, yang berarti pada edisi ini membahas permasalahan pada organisasi-organisasi yang ada disekitar kita, karena tulisan kami merupakan cuplikan dari beberapa buku ilmiah dan hasil penelitian yang dipadu dalam bentuk jurnalistik, diharapkan tidak akan ada yang tersinggung dalam penulisan ini.
Marilah kita lihat Birokrasi di Republik Indonesia ini, selama 64 tahun kemerdekaan yang dikatakan sudah tidak muda lagi, seharusnya sudah lebih baik dari sebelumnya ketika masih dijajah oleh penjajah, namun kita semua merasakan seolah-olah masih belum berubah dan bahkan terasa malah lebih buruk, hal ini dikarenakan kinerja aparat yang mengawaki masih belum mumpuni. Memang kita diwarisi oleh leluhur kita kebiasaan feodal yang dipelihara oleh penjajah Belanda agar dapat melanggengkan kekuasaannya dibumi Indonesia, jika kita tidak memiliki tekad bulat untuk lepas dari budaya itu, mungkin sampai kapanpun kita tidak akan dapat sejajar dengan negara lain.
Sebetulnya tekad itu sudah ada pada saat reformasi kemarin namun sangat disayangkan hanya kulit saja, sedangkan inti permasalahan yang dihadapi tidak pernah terpecahkan bahkan oleh para capres yang bertarung dalam pilpres 2009 yang baru dilaksanakan, belum ada itikad untuk merubah kepada paradigma baru yang lebih memberi nilai pada budaya organisasi yang lebih baik lagi.
Beberapa Capres menegaskan perlunya Reward and punishment, tetapi tidak memberikan langkah-langkah kongkrit menuju kearah itu, kita akan sangat mengkhawatirkan bila efek destruktif (edisi 3) pada suatu kemapanan yang dipelihara beberapa komponen bangsa ini menyebabkan hal yang kurang bisa diantisipasi oleh generasi muda kita. Perlunya kita merenungkan bila terjadinya upaya separatisme, yang disebabkan oleh ketidak pekaan (sensitivitas) kita dalam mengelola (memanaje) organisasi kepemerintahan ini, yang berarti kerja kita selama ini akan tidak ada artinya, hal itu dikarenakan budaya organisasi yang ada pada institusi pemerintahan kita ini, tidak akan dapat mengakomodir tuntutan rakyatnya.
Lepasnya Timor Timur dan Pulau Sipadan – Likitan, merupakan contoh / tanda bagi kita akan efek destruktif itu, untuk lebih meningkatkan kepekaan / sensitivitas dalam mengakomodir tuntutan masyarakat, maka dalam pengelolaan birokrasi pemerintahan ini perlu adanya perubahan yang signifikans, dengan cara lebih meningkatkan komunikasi antara atasan (manajer puncak) harus selalu sampai ketingkat yang paling bawah. Sebenarnya bukan komunikasi belaka, namun manajer puncak harus / wajib lebih mengenal permasalahan dari atas, menengah hingga kebawah. Lalu apakah instrumen yang bisa dihandalkan, salah satunya adalah penilaian kinerja baik terhadap personil maupun pekerjaan yang dihasilkan.
Kalau instrumen itu tidak ada, berarti aparat pemerintahan kita belum terjalin komunikasi antara manajer puncak, menengah hingga bawah secara memadai. Sehingga dalam hal perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat oleh aparat pemerintahan sangatlah kurang memadai, dinegara yang sudah 64 tahun merdeka ini, aparat pemerintahan tidak lagi melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, melainkan sebaliknya sebagai penguasa yang harus di penuhi keinginannya oleh masyarakat.
Belum lagi beberapa pungutan-pungutan terhadap masyarakat yang tidak akuntabel dan memberatkan masyarakat, seharusnya tidak dipelihara hingga saat ini, semestinya kita semua harus patuh pada mekanisme-mekanisme yang terintegrasi ketimbang pada hal-hal yang parsial yang sangat membebankan pada masyarakat, dimana kita harusnya menghimpun pungutan-pungutan yang ada untuk kekayaan negara, ketimbang memperkaya diri / keluarga / golongan, yang hal itu tidak akan bermanfaat bagi dirinya karena orang kaya yang hidup dilingkungan orang miskin, sudah barang tentu dia tidak akan pernah merasa kaya, akan lebih terasa kaya bila dia punya penghasilan cukup tetapi sekelingnya juga cukup, mereka akan lebih merasakan arti harta yang dimilikinya itu.
Lebih jauh dalam benak kita mengapa melakukan penilaian kinerja terhadap aparat pemerintahan (edisi 1), karena dalam penilaian kinerja akan membangun suatu komunikasi, dan rasa ikut memiliki yang tinggi terhadap organisasinya. Misalnya bagaimanakah seorang pimpinan puncak / manajer tingkat atas (top manager) dalam melemparkan kebijakan apakah dapat diaplikasikan dengan wajar / elegan oleh manajer dibawahnya dan perlunya suatu evaluasi dalam bentuk instrumen-instrumen yang kredibel dengan pendekatan baik secara kwalitatif maupun kwantitatif, sehingga dapat diperoleh gambaran situasi kongkrit yang menyebabkan kebijakan itu tidak dapat diaplikasikan oleh bawahan kita (teori balance score card) atau dengan kata lain asal bapak senang (ABS).
Hal itu dimaksudkan agar kebijakan-kebijakan yang telah dilemparkan, akan lebih memberi makna lebih besar kepada organisasi pada saat manajer tersebut sudah tidak menjabat, minimal adanya kesinambungan kebijakan yang menguntungkan organisasi. Sangatlah menyedihkan bila kebijakan itu bertolak belakang dengan manajer sebelumnya tanpa suatu proses yang jelas. Perlu lembaga pengkaji di masing-masing instansi pemerintah menekan seorang manajer puncak yang melempar kebijakan bertolak belakang dengan visi dan misi (teori balance score card), bila kebijakan itu bermaksud memaksimalkan kinerja (pencapaian tertentu) maka perlu adanya instrumen-instrumen evaluasi yang kredibel, sehingga dapat diperoleh gambaran yang kongkrit dalam pengimplementasian kebijakan tersebut, sehingga dapat diketahui apakah visi dan misi yang ada sekarang masih valid.
Dengan mengimplementasikan penilaian kinerja yang sesuai dengan kriteria, dimana penilaian bukan hanya Top Down, juga adanya penilaian Bottom Up maupun sejawatnya (horinzontal / vertikal / diagonal), hal ini akan lebih meningkat sikap / perilaku demokrasi dan sportif dari segenap personil / aparat dalam organisasi itu. Hal yang manusiawi adalah manusia cenderung ingin dinilai positif oleh sekitarnya, sedangkan dia memiliki emosi / kebutuhan dari apa yang dapat ditalar sehingga sekitarnya menilainya negatif, namun oknum tersebut berupaya untuk menjadi positif, agar dapat diterima lingkungannya, alhasil adalah merekayasa hasil sehingga penilaian tidak obyektif. Sehingga perlu adanya system yang dapat memberikan alert (peringatan dini) kepada manajer, bahwa adanya penyimpangan dalam penilaian tersebut, karena dalam sistem manajemen sumber daya manusia menunjukkan bahwa penilaian kinerja adalah inti dari sistem ini (core Bussiness).
Sebagaimana (edisi 2), testee (anggota yang dinilai) dapat menyampaikan keberatan dengan mekanisme yang sudah dipersiapkan sesuai aturan, demikian pula anggota yang mendapat nilai / skor terlalu tinggi dan rendah perlu diberi perhatian kalau perlu dilakukan bimbingan dan konsuling, bila testee benar-benar tidak memenuhi standar. Demikian pula dengan tester (anggota yang menilai) dalam memberi penilaiannya agar tidak diketahui oleh testee, kesalahan besar bila tester dan testee ada diskusi sebelumnya.
Kebijakan Kapolri tentang Quick Wins (Keunggulan segera) yang merupakan bagian dari reformasi birokrasi, adalah terobosan dari Kapolri Jenderal Polisi Drs. Bambang Hendarso Danuri dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi maupun personilnya. Dimaksudkan agar keempat unggulan sebagai Output (keluaran) yang dilontarkan dapat teraplikasi sebagaimana diharapkan yaitu kecepat-tagapan dalam mengantisipasi dan bertindak, kejelasan (transparansi) dalam menyidik perkara, melayani SIM, STNK dan BPKB maupun perekrutan personil Polri.
Kebijakan ini akan mudah teraplikasikan bila manajer bawah terbiasa dalam menilai kinerja, karena akan tahu parameter-parameter apa dalam pencapaian kebijakan ini, minimal manajer tersebut sudah terbiasa dengan instrumen-instrumen yang diperlukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kebijakan Quick Wins sudah terinternalisasi dalam Back Mind personil dengan berfikir sungguh-sungguh melaksanakan apa yang ditugaskan. Semestinya penilaian kinerja dulu yang diaplikasikan, namun sudah menjadi kebijakan, maka kita yang dilevel bawah harus dapat mengaplikasikan dengan sungguh-sungguh.
Dalam mengaplikasikan kebijakan ini memang perlu adanya motivasi terhadap operator dilapangan, sebagai kompensasi dalam memacu kinerjanya baik berupa insentif maupun non insentif (sesuai teori X dan Y oleh Donald Mc Gregor). Seperti isu yang menjadi buah bibir anggota Polri maupun PNS Polri, tentang Remunerasi yang bermakna bahwa penghasilan kita ditentukan oleh kinerja yang telah dicapai oleh personil yang bersangkutan, sesuai dengan arahan dari Departemen Keuangan tentang Tunjangan profesi / kinerja yang diperkuat oleh Keppres …… tahun 2009, memang kalau dibandingkan dengan standar PBB yaitu $USD 90 per hari masih jauh, tapi seyogyanya dalam menentukan kompensasi itu perlu mengikuti perkembangan laju inflasi agar dapat dirasakan manfaatnya oleh personil Polri.
Namun yang paling penting bagi kita anggota Polri dan PNS untuk lebih bertangung-jawab dengan apa yang telah ditugaskan, dapat dan mampu mengembangkan diri, mampu berkontribusi maksimal terhadap bangsa dan negaranya, memiliki nalar yang jauh kedepan (sesuai teori X dan Y oleh Donald Mc Gregor). Karena kalau kita terlalu meminta yang berlebihan terhadap negara, tanpa kita seimbangkan dengan kontribusi kita, maka nantinya anak cucu kitalah yang akan menanggung.
Demikian tulisan ini kami buat, akhirnya teriring salam manis dalam melaksanakan perjuangan demi bangsa dan negara agar lebih maju lagi.
Rabu, 04 November 2009
Langganan:
Postingan (Atom)